2/24/2011

Breaking a Tale : The Cat and The Rabbit

Dikisahkan pada suatu waktu entah di mana, ada seekor kucing yang bersahabat dengan seekor kelinci. Mereka selalu berdua layaknya sepasang sahabat pada umumnya. Si kucing yang kuat selalu melindungi si kelinci. Dalam cerita ini, si kelinci pun begitu. Begitulah.

Suatu siang, sepasang sahabat ini berjalan-jalan menelusuri jalanan kota. Mereka menyusupkan tubuh mereka di bawah semak-semak dan merangkak tanpa suara. Si kucing melompati pagar-pagar rumah pedesaan dengan lincah. Sementara si kelinci terengah-engah mengikuti sahabatnya lewat celah-celah di bawah pagar. Beberapa kali si kelinci tertinggal bermeter-meter jaraknya. Maka kucing sahabatnya akan berbaring dan menunggu dengan mata setengah terpejam. Begitulah.

Tak lama kemudian, mereka menemukan sebongkah makanan di pinggir suatu ladang. Bau makanan tersebut menggoda indera penciuman yang tajam. Mereka pun sepakat untuk membagi makanan tersebut sama rata. Si kucing membawa makanan itu dengan gigi tajamnya dan menjatuhkannya di bawah bayang-bayang pohon yang teduh. Si kelinci membagi bongkahan makanan itu sementara si kucing menunggu dengan sabar.

Betapa geramnya si kucing ketika kelinci sahabatnya berbalik. Ada dua belah makanan di antara mereka berdua. Yang satu lebih besar dari yang lain. Dan yang satu lebih kecil dari yang lain. Si kelinci dengan wajah liciknya mencengkram bongkahan yang lebih besar. Begitulah.

(Paragraf berikut adalah murni imajinasiKU. Maaf bila terlalu aneh dan tidak mendidik.)


Si kucing mulai menggeram dan seluruh tubuhnya bergetar hebat. Sedetik kemudian si kucing mengeluarkan eongan penuh ancaman yang mengerikan. Kelinci licik itu tersentak kaget lalu terburu-buru lari menjauhi bahaya yang mengancamnya. Dengan serakahnya ia membawa serta bongkahan makanan yang besar dalam gigitannya.

Kucing yang murka itu memandang sahabatnya dengan mata nyalang dan mulai mengejarnya. Tentu saja kucing menang. Ia gesit dan kuat. Diterkamnya si kelinci dengan kuku-kuku tajam di kaki depannya. Dirobeknya tubuh kelinci itu dengan taring kejamnya. Kelinci yang bulu putih halusnya kini berwarna merah bahkan tak lagi sempat melenguh. Nyawanya melayang tepat ketika sahabatnya yang murka itu menusukkan cakar-cakar ke bola mata si kelinci dan menariknya dengan kasar.

Dan eongan kejam penuh kemenangan terdengar.

Si kucing dengan anggun dan tenang layaknya bangsa kucing pada umumnya menjilati bulu-bulunya yang ternoda dan menguap lebar-lebar. Ia melenggang tanpa suara, dalam diam, dengan ringan, dan merebut bongkahan makanan yang tadi menggelinding di dekat bangkai sahabatnya. Ia mengambil bongkahan kedua yang lebih kecil, kemudian membawa keduanya ke atap sebuah rumah, dimana ia bisa memandang bangkai sahabatnya dan menertawainya.

Si kucing berbola mata hijau itu duduk tenang sebelum akhirnya memutuskan untuk menelan bongkahan yang lebih kecil dulu baru kemudian menikmati bongkahan besar sambil mengenang sahabatnya yang telah mati. Ia mengunyah makanan dengan pelan, merasakan giginya bergesekan dalam mulutnya. Lalu dengan pelan menelannya.

Makanan itu turun melewati kerongkongan dan kemudian lambungnya. Saat itulah ia merasa perutnya panas terbakar. Panas itu menjalar-jalar sampai ke kerongkongan dan itu membuatnya tercekik. Kepalanya ikut panas dan terbakar. Semua inderanya bagai tak berfungsi. Ia melangkah limbung ke tepi. Dan di sanalah ia kehilangan keseimbangan. Jatuh berdebum tidak jauh dari sahabatnya yang buta. Si kucing mati keracunan.

p.s. Setiap dongeng, seburuk apa pun itu, pasti mengandung pesan moral. Begitu juga dongeng di atas. Moral Value : Jangan serakah! Jangan memungut barang-barang aneh di jalan!

No comments:

Post a Comment